Kamis, 27 Maret 2014


Jakarta - Belum lelah Eyang Wimo Sumanto (88) mengisahkan semangat patriotik semasa perang dahulu. Proklamasi kemerdekaan RI tak serta-merta kemudian membuat para pejuang perintis kemerdekaan berleha-leha. Kemerdekaan harus dipertahankan.

Pakaian safari biru dengan lencana yang tersemat masih nampak gagah dikenakan Eyang Wimo ketika bercerita di hadapan para cucu. Begitu semangat cerita Eyang Wimo seperti benar-benar berada di medan laga. Dia pun berkisah ketika dirinya berhasil menyelamatkan Presiden Sukarno dari serangan granat.

“Waktu itu adalah ketika ada rapat raksasa pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng Jakarta tahun 1957. Ada Saadon Cs yang berniat melempar granat kepada Presiden Sukarno, tetapi digagalkan oleh saya,” tutur Eyang Wimo di kediamannya yang terletak pada Jl Percetakan Negara IX, Jakarta Pusat, Kamis (20/3/2014).

Ketika itu Eyang Wimo tergabung dalam Komando Keamanan Fron Nasional Pusat Pembebasan Irian Barat. Tak disangka-sangka rupanya ketika Proklamasi kemerdekaan telah dibacakan pun masih ada saja pihak-pihak yang ingin menjatuhkan Presiden Sukarno.

“Rapat pada waktu itu dihadiri oleh Presiden Sukarno yang memberi semangat seluruh rakyat untuk membebaskan Irian Barat, ada Duta Besar Keliling sekaligus Ketua II Fron Nasional Pusat Ibu Supeni, ada Jenderal A.H Nasution, dan Dr. Ruslan Abdulgani,” papar Eyang Wimo.

Paska kejadian tersebut dirinya langsung bergerilya menjadi intel untuk mencari informasi siapa dibalik serangan tersebut. Dirinya pun menyamar sebagai seorang mahasiswa di Jakarta.

“Lalu saya menemukan intel Belanda yang waktu itu menyamar sebagai pelukis di Cikini. Oleh saya akhirnya bocor lah rencana dia yang ingin menggranat Bung Karno untuk kedua kalinya. Waktu itu penggranatan kedua dilakukan di Cikini dan berhasil digagalkan,” tutur Eyang.
Jakarta - “Banyak orang kemudian bertanya-tanya, kenapa sih masih berniat merebut Papua Barat? Kami katakan pada waktu itu bahwa wilayah itu juga termasuk wilayah RI yang masih belum bebas dari penjajahan Belanda. Sebagai saudara sebangsa dan setanah air maka kami berusaha membebaskan wilayah itu,” tegas Eyang sambil mengarahkan telunjuk kanan ke arah atas dengan mata berapi-api.

Bukan sekedar memperkuat kedaulatan RI dari Sabang hingga Merauke, para pejuang pun terus memekikan semangat persatuan yang tak sekadar soal kesatuan. Semangat itu tertuang pada nama wilayah yang akhirnya berhasil dibebaskan dari penjajahan Belanda.

“Tanah Papua akhirnya diberi nama ‘Irian Jaya’, itu bukan sembarang nama, karena sebenarnya itu adalah singkatan ‘Ini Rakyat Indonesia Anti Nekolim!’, tapi sayangnya tak banyak yang tahu kalau sebenarnya nama Irian itu adalah salah satu bukti persatuan bangsa ini,” ungkap Eyang Wimo.

Nekolim pun singkatan dari Neo Kolonialisme dan Imperialisme. Sebuah sintesa yang dicetuskan oleh Bung Karno mengenai gambaran poskolonial bahwa bentuk penjajahan baru akan kembali menyerang Republik Indonesia.

“Entah kenapa generasi setelah Bung Karno kemudian seakan mendiamkan wilayah Irian. Sampai sekarang akhirnya Irian pun kembali diduduki oleh tentara asing,” ucap Eyang Wimo geram.

Operasi untuk membebaskan wilayah Irian ini disebut sebagai Trikora atau Tri Komando Rakyat. Misi dari operasi ini tertuang pada isi Trikora yaitu:

1. Gagalkan pembentukan Negara Papua bikinan Belanda kolonial
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa

Kalimat demi kalimat dari Trikora ini masih terpatri dalam diri Eyang Wimo. Patung pembebasan Irian Barat yang diletakan di Lapangan Banteng selalu mengingatkan Eyang akan pertempuran itu.

“Makanya di Lapangan Banteng ada patung orang Papua yang terlepas dari rantai. Itu maksudnya adalah terbebas dari penjajahan Belanda,” kata Eyang Wimo menutup kisahnya.

0 komentar :

Posting Komentar